Menari Bersama Api - Aris Setiyanto
Di ruangan ini tidak ada suara desing
printer dan klik-klik mouse, semua suara telah lebur pada dinding yang
membungkus tubuhku dengan kesejukan berkat kerja air conditioner. Kini
aku punya seorang sekretaris. Dan dia benar-benar seperti tangan kananku.
Aku tak perlu lagi berurusan dengan benda
elektronik seperti komputer, printer, mesin foto kopi dan benda-benda
semacamnya, seperti ketika aku masih di luar bersama dengan junior-juniorku. Ia
melaporkan seluruh kegiatan yang harus aku jalani pun berkas-berkas yang musti
aku tandatangani dan periksa.
Seperti malam itu, aku yang semustinya
sudah pulang masih ada di kantor karena menumpuknya berkas-berkas. Di kantor
bahkan sudah tidak ada lagi siapapun kecuali
beberapa security yang beberapa kali melintas di depan ruanganku untuk
berpatroli.
Aku menyerah meski masih begitu banyak
berkas yang belum aku tuntaskan. Kadang hati kecilku meski tak mungkin, mengira
semua kesibukan di hari pertama bekerja sebagai pimpinan itu adalah rangkaian
dari kejutan ulang tahunku yang sudah paruh baya ini.
Namun, tidak ada seseorang yang muncul
dari kegelapan ruang membawa kue dan
lilin angka di atasnya. Atau bom kertas yang meledak begitu aku membuka pintu
diselingi teriakan, tepukan dan teriakan 'Selamat Ulang Tahun!' bagiku.
Aku baru saja keluar kantor ketika ponselku berdering. Ternyata Fina,
putriku, adalah pelakunya.
"Halo Sayang!" sapaku sembari berjalan di trotoar.
"Ayah kapan pulang, Fina sudah menyiapkan kue..."
Hening,
"Halo?" aku tak dapat menyembunyikan kebahagiaan dalam
senyumku.
"Ayah kapan pulang?" ulangnya lagi.
"Ini Ayah juga sedang perjalanan pulang. Sebentar lagi sampai
halte." akuku.
Biasanya Fina akan menciumku dari jarak sejauh itu. Dia akan mendoakan keselamatan dalam perjalananku. Tapi malam itu panggilan telepon dimatikan begitu saja. Entah kenapa, mendadak aku merindukan kebiasaannya itu.
***
Aku mengetuk pintu rumah,
"Ayah pulang!" kataku setengah berteriak.
Tidak ada jawaban. Lampu dibiarkan mati.
Ini memang sudah skenarionya. Aku tidak tahu kapan Fina akan muncul dari
kegelapan dan cukup mengagetkanku. Lama aku menunggu, kejutan itu tidak kunjung
dijalankan. Hatiku sedikit resah.
Aku berjalan ke dapur, dan dapur juga hanya
menyisakan gulita. Aku berjalan ke kamar Fina, tapi dia juga tak ada di sana.
Aku berpikir lagi. Kejutan itu milikku, jadi mungkin Fina ada di kamarku. Aku
berlari menaiki tangga menuju lantai dua—kamarku, aku buka pelan itu pintu dan
menemukan Fina tengah memandangi lilin angka yang berpendar.
Aku nyaris menumpahkan telaga di mataku
ketika aku melihatnya jenuh menunggu. Aku menyeka air mata itu, dan
menyunggingkan senyum.
"Ayah pulang." kataku.
Fina masih memandangi lilin yang menyala itu,
"Fina, Ayah pulang!" kali ini aku menambah intonasinya.
Agaknya kesadaran Fina telah menari bersama
api yang dipandanginya itu. Aku berjalan mendekati Fina, sampai saat itu dia
masih juga tak sadar dengan keberadaanku. Aku tercengang. Aku yakin betul telah
mengarahkan tanganku agar menepuk pundaknya, tapi tanganku tak dapat
menggapainya seperti menjadi tembus pandang. Aku mengulanginya beberapa kali
dan selalu terjadi hal yang sama. Aku tak dapat menyentuh Fina.
***
Aku meletakkan ponsel ke dalam saku. Aku
berjalan—menghadap ke depan dan menemukan seseorang berdiri di tengah trotoar
sebelum halte bus. Saat telah begitu dekat sementara orang yang mematung itu
tidak bergerak, aku berjalan ke samping demi menghindarinya. Namun di luar
dugaanku, ia justru menghadangku bahkan ketika aku telah mencoba beberapa kali.
Dia memakai hoodie hitam yang menutupi
kepalanya. Jadi, aku tak dapat melihat dengan jelas rupa wajahnya. Ia mengeluarkan pisau dari
dalam celana, pisau itu mengkilat diterpa lampu jalanan.
"A-apa yang kau inginkan? Uang?" tergagap aku dalam bertanya.
Tidak ada jawaban, aku hanya melihatnya menggerakkan pisau itu sedikit
naik.
"Tenang, Tuan, aku hanya..."
Aku bahkan tak tahu bagaimana caranya ia
telah berada di sampingku, sedang pisau yang sedari tadi digenggamnya itu
menancap pada perutku. Aku memeganginya, merasakan darah mengalir dari sana
meyetubuhi kemeja putihku yang fitrah.
Dia berlari secepat kilat meninggalkan aku
dalam kesakitan. Aku akhirnya ambruk. Di ketika itu aku membaui aroma yang
sangat aku kenal. Mungkin hanya seorang yang memadukan aroma grean tea dan
aqua.
Kepalaku berputar mengingat kejadian di
loker kantor siang hari saat orang-orang tengah sibuk bekerja. Pintu loker yang
terkuak itu mengusik perhatianku. Siapakah gerangan yang lupa mengunci
lokernya? Bagaimana jika ia kehilangan benda berharga yang disimpannya di dalam
sana?
Aku mendekat, menilik di depan pintu dan
menemukan nama Reis tertulis di sana. Reis adalah seniorku di kantor. Kami
bersahabat sejak aku pertama kali datang. Kami banyak menyukai hal-hal yang
sama. Dan dibandingkan dengan aku, Reis jauh lebih pantas menjabat sebagai
pimpinan.
Aku baru saja akan menutup pintu ketika
loker dan memberitahukan tentang itu pada Reis ketika aku menemukan hoodie
hitam tergantung di sana. Aku berpikir itu milik seseorang yang dititipkan pada
Reis. Sahabatku adalah orang paling batu, dia tak akan mungkin mengenakan
pakaian kasual seperti itu. Hidupnya selalu berdekatan pada hal-hal formal
belaka. Tak hanya hoodie hitam, aku pun menemukan sebuah pisau di dalam sana.
Aku yakin itu sebuah pisau, tapi aku tidak begitu mempedulikannya.
Setelah menutup pintu, aku berjalan ke
ruang kerjaku. Tak lupa aku memberitahukan kepada Reis tentang lokernya yang
belum ia kunci dan aku mencium wanginya yang khas, perpaduan antara green
tea dan aqua.
Tentang Penulis
Aris Setiyanto lahir 12 Juni 1996. Karyanya termuat di; Majalah Kuntum, Koran Purworejo, Koran BMR FOX, Majalah Raden Intan News, Harian Sinar Indonesia Baru, Radar Pekalongan, Majalah Elipsis, Majalah Apajake dll.
Posting Komentar untuk "Menari Bersama Api - Aris Setiyanto "